Kenapa Tuhan harus mempertemukan kita? Kenapa Tuhan memberikan takdir dimana aku harus salah masuk jurusan? Kenapa aku harus bertanya tentang kecelakaan waktu itu? Kenapa kita harus pergi waktu itu? Kenapa… kenapa aku harus bertemu denganmu saat itu?
Cahaya matahari yang bersinar dan terik hari ini, membuatku jadi malas dan tidak bersemangat untuk beraktivitas. Bangun, mandi, makan, kuliah, pulang, lalu tidur kembali. Seperti itulah aktivitasku setiap harinya. Membosankan dan membuatku malas untuk melanjutkan hidup. Mending bunuh diri aja ga, sih? Batinku. Semakin hawa panas menusuk, semakin membuatku malas untuk beraktivitas. Aku ga ada niatan buat masuk kuliah hari ini. Tapi, banyak orang yang menunggu hari dimana aku akan wisuda. Tentu aku tidak mau mengecewakan mereka. Walaupun aku orangnya malas, tapi aku masih memiliki semangat untuk membahagiakan orang-orang yang sangat berjasa di hidupku. Terlebih kedua orang tuaku.
Namaku Azriela. Ada satu hal yang menurutku lucu di kehidupan perkampusanku ini. Ga. Bukan cuman aku yang berpikir hal ini lucu. Semua orang yang pernah mengalami atau mendengar hal ini tentu akan merasa hal ini lucu. Apa itu? Salah masuk jurusan. Yap. Salah masuk jurusan. Sejak SD, aku sudah bermimpi bagaimana nanti cara aku memeriksa pasien, mendiagnosis penyakitnya, dan hal-hal lain yang dilakukan oleh para dokter. Tapi, ternyata ekspetasiku terlalu tinggi. Masuk Fakultas Kedokteran (FK) ternyata membutuhkan finansial yang sangat amat banyak. Tentunya orang dalam juga diperlukan. Aku sudah mempersiapkan banyak hal untuk masuk FK sejak SMP. Dan di SMA, aku belajar giat setulus hati untuk mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia (UI). Tapi, semua itu sia-sia. Aku malah mendapat undangan ke Universitas Negri Jakarta (UNJ) dan masuk jurusan Seni Tari. Kata Mama, ga usah diterima. Soalnya setelah wisuda nanti, ujung-ujungnya cuman jadi guru Seni Tari doang atau ga, ya jadi seorang koreografer. Tapi, kata Papa sama abang, mending diterima aja. Soalnya lumayan juga bisa masuk UNJ lewat jalur undangan dan dapat beasiswa lagi. Sebenarnya berat bagiku dan bagi Mama untuk menerima keputusan keluarga. Namun, mau ga mau harus menerima keputusan tersebut, soalnya kalau mau masuk jalur SBMPTN tentu akan memakan biaya yang besar, dan belum tentu keterima. Aku pun membulatkan hati dan menerima keputusan tersebut.
Semester 1 telah berlalu, dan kini memasuki semester 2. Di awal semester ini tidak ada hal yang menarik. Sampai… “WOI ADA YANG KECELAKAAN DI BAWAH!!!” teriak salah seorang laki-laki yang merupakan kakak tingkat kami. Kelas kami tentunya heboh. Dan beberapa orang langsung berlari dan turun ke bawah untuk melihat kejadian tersebut. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik untuk hal ini. Tapi, ada yang bilang kepala korbannya bocorlah, ada yang bilang putus jari kaki, ada yang bilang patah leher, ada yang bilang pelakunya orang gila. Tentu semakin banyak hal yang ku dengar, semakin membuatku penasaran dengan kejadian itu.
Aku pergi ke lapangan lumayan jauh juga dari tempat kejadian itu. Terlihat seorang lelaki tinggi, kemeja kotak-kotak berwarna hitam dengan style ala-ala Amerika, berada di depanku dan melihat ke arah kerumunan orang-orang. Reflek aku bertanya kepadanya, “itu kenapa sih? Kok bisa kecelakaan?”,
“ya, mana ku tahu, kan bukan aku saksi matanya.” Ucapnya sambil memicingkan matanya ke arahku. Setelah itu, tiba-tiba perasaan ilfeel muncul di dadaku. Aku nanya baik-baik, malah jutek. Padahal ku kira kelihatan karena dia tinggi. Batinku. Aku langsung memutarkan bola mataku darinya, dan mulai berjalan menuju ke kerumunan orang.
“HEH! Perempuan ga boleh ke sana!” teriaknya sambil menahan tanganku.
“lah? Emang kenapa dah? Di sana banyak perempuan juga kok, lagian kan bukan bencana alam. Cuman kecelakaan doang, kok. Heboh bener.” Balasku.
“ya ga boleh! Di sana banyak orang apa lagi laki-laki, lho. Nanti kamu kena senggol.” Ucapnya. “peduli amat.” Sambungku.
Kemudian, aku langsung berbalik arah berlawanan dari area kecelakaan tersebut. Jadi badmood gegara orang gila yang satu ini. Pada saat itu juga, para dosen mengatakan untuk kembali ke rumah masing-masing. Karena kehebohan tersebut ternyata diakibatkan oleh salah satu anak dari dosen pembimbing yang merusuh di area sekitar kampus. Katanya sih, karena ada yang menghina kampus. Katanya. Ga tau, benar apa ga.
Hatiku senang. Tentu, karena akhirnya aku bisa pulang ke rumah dan tidur. Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian tersebut karena orang tuaku bertanya-tanya kenapa aku ga jadi pergi ke kampus dan pulang ke rumah. Mereka hanya ber-oh-ria saja. Ya, emang mau bereaksi seperti apa? Toh, hal yang biasa di masyarakat. Mereka menyuruhku untuk pergi ke kamar dan beristirahat, soalnya jarang-jarang ada kesempatan anak kuliahan untuk beristirahat. Tapi, bukannya beristirahat, aku malah kepikiran lelaki yang menahan tanganku tadi. Sepertinya dia orang yang baik. Tampangnya juga oke.Boleh lah, ya.Haha… akupun tertawa kecil. Moga-moga ketemu lagi. Batinku. Aku mulai tertarik dengannya. Soalnya ya, penasaran aja sih. Tiba-tiba main nahan tangan orang yang baru dikenal, kayak ga rela pacarnya pergi, peduli banget lagi. Jarang banget nemu orang kayak dia. Semakin aku penasaran, keinginanku untuk kembali ke kampus semakin naik. Rasanya ga sabar untuk masuk besok. Seolah-olah aku ingin mempercepat waktu biar bisa bertemu kembali dengannya. Kalau ga salah dia semester 1 juga. Besok lihat di kampus, deh.
Keesokan harinya, aku kembali masuk kampus dan berusaha untuk memperhatikan sekitar, sambil mencari-carinya. Aku berusaha untuk tidak kelihatan seperti sedang mencari seseorang. Aku stay kalem, sambil memperhatikan orang-orang yang berada di dalam kelas dan orang yang keluar-masuk ruangan. Aku menemukannya. Dia sedang bersama dengan teman-temannya sambil tertawa. Senyumnya manis. Pikirku. Ku akui dia ganteng dan imut. Itu mampu meluluhkan hatiku. Kemudian, tanpa disengaja kami saling bertatapan. Aku reflek senyum kepadanya dan sambil menganggukkan kepalaku. Dia membalasnya dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku kaget. Ya, siapa yang ga kaget coba, tiba-tiba orang yang baru kenal 1 hari… Bukan. Itu tidak dapat dikatakan sebuah pengenalan, bahkan bukan pengenalan singkat. Kami bahkan belum berjabat tangan dan mengetahui nama satu-sama lain. Jadi, itu tidak terhitung sebuah pengenalan. So? Kami adalah orang asing. Lalu, kenapa dia melambaikan tangannya kepadaku? Aku langsung melihat ke belakangku karena mungkin aku yang ke-GR-an. Ga ada orang satu pun di belakangku. Berarti, lambaian itu untukku, dong? Dia tertawa. Mungkin karena melihatku yang sedang kebingungan. Dia melambai lagi dan kemudian kembali mengobrol bersama teman-temannya. Setelah kejadian singkat tersebut, kami mulai dekat, dan akupun mengetahui bahwa namanya adalahKenzo.
Dekat yang bagaimana? Ya, dekat seperti adik-kakak. Terkadang teman-teman kami sering menjodoh-jodohkan kami. Tapi kami tidak setuju, soalnya kami sering bertengkar, sering meributkan hal yang kecil, apalagi dia sama seperti abangku, perfeksionis. Kalau aku terlambat, dia sering memarahiku sama seperti abangku, kalau aku ga sengaja berkata kotor dia langsung melihat ke arahku, kalau ada catatan atau tugas yang lupa ku kerjakan dia langsung memarahiku dan mengatakan bahwa dia sudah mengingatkanku dan masih banyak lagi. Kadang aku heran, kok bisa ya, kami dekat? Perasaan, baru kemarin kami bertemu di tempat kejadian. Tiba-tiba udah dekat aja.
Aku ga peduli dengan hal itu. Toh, udah lewat. Kami juga udah terlanjur dekat. Kedekatan kami tentu menjadi bahan perbincangan di kampus terlebih di angkatan kami. Soalnya, dia sering memarahiku di segala tempat dan di setiap saat. Karena aku orangnya pemalas, apalagi urusan kampus. Ga peduli. Aku hanya perlu belajar, menyusun skripsi dan selesai. Tapi, karena dia adalah orang yang perfeksionis, dia selalu ga suka dengan tingkahku yang lesu dan tidak semangat. Dia selalu mengatakan “Hidup itu harus disyukuri, dijalani dan dinikmati. Ga mau bahagiain orang tua? Ga tau balas budi.” Setelah mendengar perkataannya, rasanya seperti ada pisau yang menusuk ke dadaku. Walaupun sering mendengarnya, tapi tetap saja ada rasa yang menusuk. Aku kagum dengannya. Dia selalu bersyukur setiap saat dan jika sudah mendapatkan sesuatu, meskipun itu hal yang kecil. Dia juga selalu mengingatkanku banyak hal. Keren. Dia bisa mengingat semuanya bahkan hal yang menurutku tidak penting. Dia bahkan tahu dan ingat apa saja hal-hal yang kulakukan. Dan, aku bersyukur, dia bisa hadir dalam hidupku walaupun pertemuan kami cukup aneh.
6 semester sudah berlalu. Kami sudah mulai membahas bahan skripsi kami. Kami akan membahas tarian dari Daerah Sumatra Utara tepatnya Pulau Nias. Kenapa kami memilih Pulau Nias? Soalnya… Pertama, daerah kelahiran neneknya. Yang kedua, kami juga tertarik karena Pulau Nias tergolong daerah yang memiliki banyak hal yang membuat orang-orang penasaran akan Pulau tersebut. Dan kami memilih untuk mengambil salah satu tarian yang cukup unik di Nias, tepatnya dari Pulau Nias Selatan, yakni Tari Mogaele, dan Tari Perang atau Tari Baluse. Aku mengambil tentang Tari Mogaele, dan dia tentang Tari Perang.
Menurutku, Tari Mogaele merupakan Tari yang sangat unik, karena gerakannya yang sangat pelan dan dan lembut. Di samping itu, aku juga tertarik kepada para penari laki-laki yang berperan melindungi para penari perempuan dengan menggunakan perisai dan pedang (baluse). Setelah ku telusuri, ternyata Tari Mogaele adalah Tari untuk menawarkan sekapur sirih kepada para tamu undangan atau tamu penting. Dimana para penari perempuan bergerak secara perlahan-lahan untuk menunjukkan kelembutan dan keuletan perempuan dalam menghantakan sirih kepada para tamu undangan. Dan para penari laki-laki melindungi para penari perempuan dari segala gangguan yang ingin mengganggu para penari perempuan. Sedangkan, Tari Perang merupakan tarian yang ditarikan sebelum berperang untuk membangkitkan semangat para pemuda yang ingin berperang. Dan biasanya disertai oleh atraksi hombo batu atau lompat batu. Bagian inilah yang unik. Para pemuda asal Nias memiliki kemampuan untuk melompati batu yang sangat tinggi. Dan menurut tradisi zaman dulu, jika pemuda tersebut tidak bisa melompati batu tersebut, maka tidak boleh atau tidak dianggap pantas untuk menikah. Tapi sekarang, lompat batu bukan lagi sebuah kewajiban di beberapa daerah Pulau Nias.
Kami berencana untuk pergi ke rumah neneknya untuk menanyakan lebih detail tentang tarian tersebut. Dia menunggu di depan rumahku untuk menjemputku. Aku sudah bersiap-siap dan membawa beberapa alat tulis dan perekam untuk wawancara nanti. Oke, udah pas. Sambil merapikan kembali bajuku walaupun masih rapi. Aku pamit pada orang tuaku dan dia juga ikut pamit. Kamipun berangkat, dan di sepanjang perjalanan, dia terus bertanya apakah semua hal-hal yang diperlukan sudah dibawa atau apakah ada yang ketinggalan atau ga. Jujur, lama-lama telingaku panas, dan mulutku lelah menjawab semua pertanyaannya. Aku diam dan tidak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan dari mulutnya. Diapun menepikan motornya di pinggir jalan dan menyuruhku untuk turun.
“Sudah sampai?” tanyaku.
“Belum. Masih jauh. Tapi kita istirahat dulu, kayaknya kamu capek.” Balasnya. “Oke.” Kami hendak masuk ke dalam sebuah warung yang berada di pinggir jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba…
BRUGHHH… Suara pukulan yang amat keras muncul dari arah belakangku. Ternyata, ada orang yang memukul kepala Kenzo menggunakan balok kayu yang besar. Aku reflek melotot dan mundur ke belakang. Dia terjatuh dan aku melihat banyak darah bercucuran dari kepalanya. Para warga sekitar juga terkejut melihat kejadian tersebut, dan langsung berlari mengejar si pelaku. Aku langsung berlutut ke lantai karena shock melihat darah yang keluar dari kepalanya. Aku mulai mengeluarkan air mataku dan perlahan-lahan tanganku menuju ke arah kepalanya. “Ken…” ucapku lirih dan gemetaran karena mengalami shock berat. Ada beberapa orang yang sedang berusaha menelpon ambulans dan berusaha mengangkat tubuhnya. Ada beberapa orang juga yang berusaha menenangkanku dan mengatakan beberapa patah kata, padahal aku tidak dapat fokus untuk mendengarkan mereka. Telingaku berdengung kencang. Rasanya telingaku mau pecah. Kemudian, pandanganku tiba-tiba menghitam dan…
Aku mulai membuka mata secara perlahan-lahan. Badanku mati rasa. Ternyata, aku pingsan selama beberapa jam sejak kejadian tersebut. Aku dihantar ke rumah sakit terdekat tapi cukup jauh dari lokasi kejadian tadi. Tiba-tiba muncul seorang perawat dari arah pintu masuk. Perawat itu mulai mendekat ke arahku. Dia mendekatkan kepalanya ke arahku, kemudian memeriksa infus di tanganku, dan mulai memeriksa segala kondisi tubuhku. “Bagaimana perasaan Anda? Apakah Anda merasa kurang nyaman? Atau Anda merasa mual dan pusing?” tanyanya memastikan kondisiku. Aku hanya bisa mengangguk. Aku tidak sanggup untuk mengeluarkan suara apalagi berbicara. Tubuhku lemas dan aku juga merasakan gejala-gejala yang disebutkan oleh perawat tadi. Seluruh tubuhku rasanya seperti sulit untuk ku gerakkan. Aku berusaha untuk menyamping atau setidaknya menggeser posisiku karena rasa kurang nyaman yang kurasakan. Tapi, aku tidak sanggup. “Anda belum boleh bergerak. Anda baru saja siuman. Energi Anda belum pulih kembali. Beristirahatlah lagi, supaya nanti Anda sanggup untuk bangun.” Ucapnya. Akupun menurutinya dan berhenti bergerak. Aku kembali memejamkan mataku dan berharap supaya waktu cepat berlalu.
Selang beberapa jam kemudian, aku membuka mataku kembali. Tidak ada seorang pun di sekitarku. Aku merasa cukup nyaman dan merasa bahwa sudah saatnya aku bangun. Aku memperhatikan sekitar dan berusaha untuk duduk. Aku berhasil. Pusing bangettt… batinku. Aku kembali memperhatikan sekitarku dan mataku tertuju ke arah jam digital yang menunjukkan pukul 05.38. Aku tersadar akan sesuatu. Kenzo! Batinku. Aku langsung melihat ke samping kiriku yang tertutupi tirai besar dan menggesernya berharap dia berada di situ. Namun, hasilnya nihil. Ranjang di sebelahku juga kosong. Aku berusaha mencabut infus yang ada di tanganku. Walaupun sakit, aku tetap berusaha melepasnya dan akhirnya, selang infus itu terlepas.
Aku berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit. Ada beberapa perawat yang menyuruhku untuk kembali ke ruanganku, tapi aku tidak menghiraukannya. Sampai pada akhirnya, salah seorang perawat menahan tanganku dan bertanya, “Anda mau kemana?”, “apakah ada laki-laki yang dibawa bersamaku ke rumah sakit ini?” tanyaku. “ada. Anda mau Saya antarkan ke ruangannya?”, aku hanya mengangguk kepadanya. Kemudian, dia membawaku ke depan ruang ICU. “dia masih belum sadarkan diri.” Ucap perawat tersebut. Aku bersyukur dia masih hidup, tapi di satu sisi ada perasaan tidak nyaman yang kurasakan, seolah-olah akan terjadi hal yang buruk padanya. Aku berharap bahwa itu hanya perasaan khawatir karena dia masih belum bangun. “Anda harus kembali ke ruang rawat supaya Anda bisa pulih sepenuhnya.” Ucap perawat yang masih setia menemaniku. Aku hanya kembali menganggukkan kepalaku padanya. Kemudian, dia memapahku menuju ruang rawatku tadi. Aku kembali beristirahat dan berdoa supaya Kenzo bisa sembuh secepatnya.
Keesokkan harinya, banyak teman-teman yang berkunjung ke rumah sakit tempat kami berada dan menanyakan keadaan kami.Mereka juga mengatakan bahwa pelakunya sudah tertangkap dan mengaku bahwa dia memukul Kenzo atas dasar ingin membunuh seseorang yang berada di sekitarnya saat itu juga. Ternyata pelakunya memiliki penyakit kejiwaan dan sering mendapatkan masalah dari orang-orang di sekitarnya yang mengganggunya. Ga heran kenapa dia tiba-tiba datang entah darimana dan memukul kepala Kenzo. Aku sebenarnya ga terima. Tapi, pelakunya sudah dipenjarakan dan itu mampu membuat kekhawatiranku sedikit berkurang. Namun, aku juga masih khawatir pada Kenzo yang sampai saat ini masih belum bangun, padahal aku sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan menjalani terapi karena telah mengalami shock.
Seminggu setelah kejadian tersebut, aku sudah bisa beraktivitas kembali seperti biasa. Akan tetapi, banyak hal janggal yang selama ini ku temui di saat aku menanyakan tentang Kenzo. Temannya Kenzo bilang, Kenzonya lagi rawat jalan sekaligus istirahat di rumah, beberapa teman seangkatan mengatakan Kenzo masih berada di rumah sakit dan sedang proses pemulihan, dan banyak lagi hal yang membingungkan. Bahkan, ketika aku bertanya tentang kondisinya, apakah dia sudah sadar atau belum, ada yang mengatakan kalau dia sudah sadar, dan ada yang mengatakan bahwa dia belum sadar. Mereka semua memiliki jawaban yang berbeda-beda dan saling terbalik. Tentu, hal itu membuatku semakin curiga dan penasaran tentang keadaan Kenzo yang sebenarnya. Jangan-jangan dia sebenarnya udah meninggal? Itu yang selalu ku pikirkan. Tapi, aku selalu berusaha menepis jauh-jauh pemikiran tersebut dan masih beranggapan sekaligus berharap bahwa dia masih hidup. Dia pasti masih hidup. Aku harus percaya kalau dia masih hidup, dan pasti hari ini dia masuk.
Aku merasa tidak sabar untuk bertemu dengannya di kampus. “bang, cepetan dong, aku telat, nih.” Ucapku pada Abangku yang sedang mengendarai mobil untuk membawaku ke kampus. Kenapa ga naik motor aja? Pasti ada beberapa orang yang bertanya tentang hal itu. Kata abangku, “Harus naik mobil, kalau naik motor ntar sesak gegara ramai banget sama cuaca juga lagi panas terik, nanti kamu sakit.” Ya, begitulah katanya. Nurut aja, sih. Soalnya aku juga ga bisa bawa kendaraan.
Sesampainya di kampus, aku langsung buru-buru ke kelas dan selalu berdoa kalau Kenzo sudah datang. Namun nihil, aku tidak menemukannya di mana-mana. Kemudian, aku duduk di sebelah temanku, dan bertanya apakah dia melihat Kenzo atau ga. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Kamu ga tau? Kenzo belum masuk sejak kejadian itu, lho.”
“hah? Serius?” tanyaku balik padanya.
“iya, Kenzo belum masuk, lho sampai sekarang. Dan yang ku dengar-dengar sih, Kenzo udah pindah ke luar kota.” Sambungnya.
Aku tertegun. Dia pindah? Kok, gitu? Kok, dia ga beritahu apa-apa? Kok, yang lain juga ga beritahu apa-apa samaku? Batinku. “oh, ok. Makasih, ya.” Kemudian aku pergi meninggalkannya dan mencari teman-teman dekat Kenzo. Aku menemukan mereka sedang tertawa bersama-sama. Aku menarik salah seorang di antara mereka yang bernama Daniel.
“Niel, sini dulu.” Sambil aku menarik tangannya dan menjauh dari yang lain.
“eh… kenapa, La?”
“kalau aku bertanya, jawab dengan jujur ya? Ga boleh bohong. Janji?” ucapku sambil menunjukkan jari kelingkingku ke arahnya.
“hm… janji.” Dan membalas tautan jari kelingkingku.
“jujur, Kenzo sebenarnya baik-baik saja, ‘kan? Dia ga kenapa-napa ‘kan? Lalu, kalau emang dia sehat, dia sekarang ada dimana?”
“huffttt…Ok, aku jujur. Kenzo mengalami amnesia semenjak kepalanya terbentur. Dia ga ingat sama siapa-siapa bahkan termasuk kedua orang tuanya. Kemudian, para dokter menyuruhnya untuk menjalani terapi di Bekasi dan mau ga mau dia juga harus pindah kampus. Jelas?” jelasnya.
Sejenak aku terdiam. Dia hilang ingatan?Berarti dia lupa juga samaku, dong?Batinku. Tanpa sengaja air mataku keluar. Aku ga terima. Kenapa ga di sini aja dia terapi? Kenapa harus di Bekasi? Di sini juga sama aja kok terapinya. Apa bedanya coba? Banyak argumen yang muncul di kepalaku. Dan aku kembali memikirkan moment-moment indah yang selama ini kami lalui. Dimulai dari awal kami bertemu, dimana kami perlahan-lahan mulai dekat, bahkan hingga mencapai hubungan seperti kakak-beradik, dan secara tiba-tiba, dia lupa ingatan dan menghilang dari hadapanku. Kenapa Tuhan harus mempertemukan kita? Kenapa Tuhan memberikan takdir dimana aku harus salah masuk jurusan? Kenapa aku harus bertanya tentang kecelakaan waktu itu? Kenapa kita harus pergi waktu itu? Kenapa… kenapa aku harus bertemu denganmu saat itu? Seandainya Tuhan tidak mempertemukan kita, pasti aku tidak akan merasakan perasaan kehilangan seseorang yang aku sayangi.
Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu…
Aku menyayangimu sama seperti aku menyayangi keluargaku…
Seharusnya aku tidak mengabaikanmu saat itu…
Seharusnya aku selalu memperhatikanmu…
Seharusnya aku meresponmu dengan baik…
Seharusnya aku bersyukur bahwa kau masih ada di sisiku dan menemaniku saat itu…
Seharusnya aku… mengatakan padamu bahwa aku sangat menyayangimu setidaknya sebelum kau pergi.
Kenapa kau harus pergi?
Apakah ini hukuman buatku, karena tidak bersyukur bahwa kehadiranmu sangat berarti bagiku?
Ini salahku…
Seandainya waktu bisa terulang kembali, aku ingin selalu berada di dekatmu dan pasti akan meresponmu dengan baik…
Aku berharap kau bahagia dengan lembaran baru yang kau jalani…
Karya:
Cheryl Mary Gryselda Manao
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Guru Mapel "Ibu Alvenrina Zebua, S.Pd"